“Tuhan, maaf, kami orang-orang sibuk. Kami memang takut neraka, tetapi kami kesulitan mencari waktu untuk mengerjakan amalan yang dapat menjauhkan kami dari neraka-Mu. Kami memang berharap surga, tapi kami hampir tak ada waktu untuk mencari bekal menuju surga-Mu.”
Berapa jam dalam sehari Anda sempatkan waktu Anda untuk beribadah dan berkomunikasi dengan Alloh ? Berapa penghasilan yang Anda sisihkan dalam sebulan untuk bersedekah ?
Ya, dari dua pertanyaan itu sudah menunjukkan karakter kita yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk urusan dunia daripada akhirat. Teliti kata-kata yang saya tulis miring (italic) diatas, mari kita ber-istigfar. Kita seolah makhluk yang begitu sibuk, bahkan untuk beribadah dan berkomunikasi dengan Alloh saja kita harus menyempatkannya. Kita seolah manusia pelit, bahkan untuk akhirat kita justru menyedekahkan harta yang tersisih.
Tak sadar dihadapan Tuhan seolah-olah kita adalah orang tersibuk, padahal seluruh waktu, seluruh jatah usia, bahkan hidup kita seharusnya kita persembahkan dalam pengabdian kepada-Nya, “ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Ad-Dzariyat: 50)
Kita sudah sedemikian berani berbohong kepada Alloh. Di setiap fitrah begitu mudah kita ucap “innasholatii wanusuki wa mahyaya wa ma maati lillahi rabbil alaamina.” Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku, hanya untuk Alloh, Tuhan sekalian alam, tetapi kelakuan kita justru mengingkarinya.
Tuhan kita Maha Adil, tetapi mengapa kita tidak adil kepada-Nya? Ketika ada sms masuk, kita begitu bergegas membuka dan membalasnya, tetapi mengapa ketika Tuhan memanggil-manggil untuk mengahadap-Nya kita berani menunda-nundanya?
Saudaraku, dengarlah kalimat-kalimat muadzin yang berkumandang, paling tidak lima kali sehari. Kalimatnya tidak hanya mengajak kita untuk melaksanakan sholat, akan tetapi disusul dengan tawaran kesuksesan. Dengarlah panggilan Tuhan yang dikumandangkan muadzin, “Hayya alash sholah” marilah kita sholat. Tak cukup hanya itu, “Hayya ‘alal fallah” Mari kita meraih kemenangan. Seolah Tuhan berkata, wahai manusia berhentilah dari rutinitas kerjamu, istirahatlah sejenak dari kesibukanmu. Sholatlah dan sambutlah kemenangan. Sholatlah, dan yakinlah kerjamu akan membuahkan keberhasilan dan lebih berkah.
Tapi kenyataannya tidak, manusia masih begitu pelit kepada Tuhan, bahkan untuk bersedekah pun kita menyisih-nyisihkan harta kita. Kita begitu boros untuk dunia, tapi intuk bekal kehidupan abadi, malah kita tabung harta yang tersisih. Sedekah kita tak lebih dari harta yang tak begitu kita cintai. Jangankan sedekah, bahkan zakat yang hanya 2,5% saja terkadang begitu berat terambil dari dompet.
Betapa kecilnya harga uang ketika kita sedang berhadapan dengan penjual baju. Betapa murahnya angka 1 juta ketika kita sedang shopping. Betapa kecilnya angka seratus ribu ketika kita membeli pulsa. Tetapi ketika ada kotak amal berjalan, ketika ada pengemis meminta-minta, ketika ada anak kecil dengan wajah kusam mengamen dan menadahkan tangannya yang masig suci, berapa jumlah uang yang kita ambil dari dompet ? betapa besarnya nilai uang seratus ribu apabila dibawa ke mesjid untuk disumbangkan, tetapi betapa kecilnya bila dibawa ke mall untuk dibelanjakan. Ya Alloh tak sadar kita begitu pelit ketika dihadapkan pada bekal akhirat, tetapi untuk menuruti nafsu dan keinginan-keinginan dunia, betapa ringan kita merogohkan tangan. Padahal seharusnya sebaliknya, pelitlah untuk dunia dan boroslah untuk akhirat.
Tapi, TIDAK, semua orang sudah terjungkal konsep pemikirannya, dalam memaknai hidup. Ingatlah ketika sholat, kita seolah kerasan dan betah berkomunikasi dengan Alloh. Jangankan khusyuk, bahkan menyadari apa yang sedang dibaca saja tidak sempat. Betapa lamanya 15 menit jika kita gunakan untuk menyembah Alloh, tetapi betapa singkatnya kita gunakan untuk melihat film. Betapa nyamannya pertandingan bola ada perpanjangan waktu, namun ketika mendengar khotbah di mesjid lebih lama sedikit daripada biasa kita begitu mudahnya untuk mengeluh.
Sahabat, berapa lama waktu pagi kita gunakan untuk baca koran ? Bandingkan dengan berapa lama waktu yang dihabiskan untuk membaca Surat Cinta dari Tuhan? Ah, betapa sulit menyempatkan waktu untuk membaca satu halaman kitab Suci, tapi betapa mudahnya membaca ratusan halaman novel.
Sahabat, kita lebih sering menghabiskan sisa uang dengan obrolan-obrolan tanpa makna, tetapi untuk berdoa kepada Tuhan berapa waktu yang kita sisihkan ? Astagfirullohaladzim, betapa sulitnya kita merangkai kata demi kata ketika berdoa kepada Alloh, tapi betapa mudahnya kita menyusun kalimat panjang ketika menggunjing tetangga, bergosip dengan teman, dan mengobrol tanpa makna.
Betapa senangnya kita duduk dibarisan paling depan ketika menonton pertandingan atau menonton konser musik. Tetapi ketika berjamaah mengapa kita memilih shaf paling belakang ?
Betapa sulitnya mempelajari makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Betapa sulitnya kita mengimani apa yang dikatakan oleh Alloh dan Rasul-Nya, tetapi betapa mudahnya kita mempercayai apa yang dikatakan oleh koran. Ya, tiap pagi seolah koran sudah menjadi sarapan waib, tetapi hampir tiap hari seolah sudah tak ada jeda untuk mengisi waktu dengan tilawah.
Abu Atthaillah berkata, “ menunda beramal sholeh untuk menantikan kesempatan yang lebih luang termasuk tanda kebodohan diri.” Ya, kebodohan diri. Betapa bodohnya diri yang tak tahu berapa lama Alloh menjatah umurnya, tetapi dengan tenang dia melakukan aktivitas dunia dengan menunda-nunda kebaikan. Betapa bodohnya jiwa yang telah tahu bahwa belum tentu esok ia masih bisa bernafas lega, tetapi dengan beraninya hidup dalam santai dan lupa bahwa momentum kebaikan takkan terulang untuk yang kesekian kalinya.
Bertahun-tahun begitu mudah kita habiskan usia untuk memuaskan nafsu-nafsu. Bertahun-tahun kita begitu mudah mengumbar semua keinginan. Tetapi mengapa untuk berpuasa beberapa hari saja kita terlalu banyak mengungkat keluh. Mengapa untuk menahan diri untuk beberapa saat saja kita masih terus mengiba.
Setiap orang begitu takut ketika diancam neraka, tetapi kelakuan-kelakuan mereka seolah sedang memohon untuk dimasukkan ke neraka secepatnya. Betapa setiap orang ingin menginjakkan kaki dipelataran surga, tetapi kelakuannya seperti menjauhkannya.
“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan memasukinya. Siapa yang menaatiku akan masuk surga, dan siapa yang mendurhakaiku maka dialah orang yang enggan masuk surga.” (HR Bukhori)
Sumber : Tuhan Maaf Kami Sedang Sibuk, karya :Ahmad Rifa'i Rif'an